SEORANG sipir mengintip dari lubang di pintu besi. Matanya mengawasi kerumunan wartawan, yang berada di halaman luar Lembaga Pemasyarakatan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur. Selapis pintu, dan gerbang tinggi terpacak angkuh membatasi dunia bebas, dan kehidupan penjara.
Malam itu, Kamis 14 Januari 2010, terbetik kabar seorang narapidana Artalyta Suryani, akan dipindah ke Penjara Tangerang, Banten. Artalyta akrab disapa Ayin. Dia didakwa menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan Rp 6 miliar guna meloloskan kasus BLBI milik Sjamsul Nursalim. Untuk ulahnya itu, Ayin dihukum lima tahun penjara.
Ayin bukanlah perempuan biasa. Dia pemilik PT Indonesia Prima Property Tbk, perusahaan properti dan real estate, berkantor di Jalan Jend Sudirman, Jakarta Pusat. Sejumlah usahanya ada di Lampung.
Selain properti, dia pemegang saham PT Gajah Tunggal Mulia, anak perusahaan Gajah Tunggal Tbk milik Sjamsul Nursalim. Pergaulannya luas. Dalam sidang pengadilannya tahun lalu, kerap terungkap dia dekat dengan para pejabat penting di negeri ini.
Tepat pukul 21.30 WIB, bis hijau bertuliskan Polisi Khusus Pemasyarakatan (Polsuspas) diikuti sedan patroli polisi memasuki penjara. Berselang 25 menit, gerbang hijau itu kembali terbuka. Kali ini yang pertama muncul mobil patroli, diikuti bis Polsuspas dan Toyota Kijang Innova. Lalu melesat ke jalan raya.
Tak lama kemudian, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Catur Budi Patayatin muncul didampingi dua staffnya. Dia membaca selembar kertas memindahkan tiga narapidana, yaitu Artalyta Suryani, Darmawati Dareho (terpidana tiga tahun kasus korupsi), dan Limarita alias Aling (terpidana seumur hidup kasus narkoba). "Mereka dipindahkan ke LP Tangerang," kata Catur.
***
Minggu, 10 Januari 2010, pukul 19.30. Serombongan orang merangsek ke gerbang penjara ini. Sipir terkesiap. Mereka yang datang adalah orang penting: Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Satgas ini dibentuk Presiden SBY pada Oktober lalu. Ada Denny indrayana, Mas Achmad Santosa, Yunus Husein, dan Irjen Herman Effendi. Satgas ini diketuai Kuntoro Mangkusubroto.
Bersama mereka ada serombongan wartawan juga. "Ini perintah presiden," kata Denny yang juga Staf Khusus Presiden Bidang Hukum. Tak kuasa menahan, para sipir membiarkan rombongan ini naik ke lantai tiga, Blok Anggrek. Mereka masuk ke ruangan terpidana Artalyta alias Ayin. Ini ruang seluas 4 x 6 meter yang terpisah dari sel biasa.
Di dalam, terlihat seorang dokter ahli riset kosmetik, Hadi Sugiarto, didampingi seorang perawat sedang merawat wajah Artalyta. Yang bikin terkejut adalah fasilitas ruangan penjara ini: ada kulkas, televisi flat, meja kantor, spring bed, kursi tamu, serta pendingin udara.
Tim sempat bertanya-tanya ke Ayin. Mas Ahmad, misalnya, bertanya Ayin setiap jam berapa saja di ruangan itu. "Jam 8 pagi sampai jam 4 sore," Ayin menjawab. Padahal ketika tim datang, jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. "Oh, hari ini karena ada dokter," katanya.
Selain itu, ditanya juga apakah Ayin bekerja. Dijawab tidak. Ayin menjelaskan, perusahaannya dikendalikan anaknya. "Sesekali saya pimpin rapat di rutan ini," katanya. "Saya punya plasma pak, perkebunan. Terus ada properti, nanti gimana karyawan saya," katanya.
Soal ruangan? "Ini ruangan binker (bimbingan kerja). Saya dari pagi kerja di sini sama anak-anak," katanya. Lalu dia menunjuk sejumlah kerajinan tangan yang ada di ruangan itu. Ayin mengakui, ruangan itu juga digunakannya untuk kepentingan pribadinya. "Saya cuma minta ya sedikit ini saja ya," katanya. Telunjuknya mengarah ke sofabed, meja dan alat perawatan kecantikan.
Kemudian rombongan ke lantai dua yang ditempati Aling. Ini juga mewah. Berpenyejuk udara, dindingnya berlapis wallpaper bunga-bunga. Ada ruang karaoke dengan kursi empuk. Di atas meja tergeletak telepon genggam. Ada pula kulkas berisi sayuran.
Alin menjelaskan tempat itu untuk kegiatan para napi juga. “Ada lomba karoke...ini semua punya Dharmawanita," katanya. Alin yang sudah mendekam dalam penjara selama tiga tahun ini mengatakan berada di kamar itu hanya pada jam kerja saja. Dia bilang semua barang-barang yang dibelinya itu disumbangkan untuk Dharmawanita.
Lalu Tim Satgas beranjak ke ruangan yang ditempat Darmawati Dareho, bersama dua napi lainnya. Tak semewah milik Ayin dan Alin, di sini hanya ada ada pemutar DVD, timbangan badan, tempat tidur lipat, lemari kecil, aqua galon, televisi dan kipas angin. Tak ada penyejuk udara.
Temuan itulah yang dilaporkan oleh Tim Satgas ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. "Sudah saatnya melakukan perbaikan," kata Mas Ahmad Santosa.
Mereka juga mengakui, bahwa kasus yang sama terjadi di hampir semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia. "Selain itu ada masalah over kapasitas juga," kata Deny Indrayana. "Perlu dipikirkan perbaikan ke depan."
***
Narapidana di seluruh penjara Indonesia hingga Januari 2010 ini berjumlah 132.372 orang. Mereka dijejal ke dalam penjara yang cuma berkapasitas 90.853 tahanan. Jadi, tentu saja penjara tampak sesak. Di kota-kota besar, isi penjara meluap sampai 300 persen.
Ada lagi angka yang jomplang: pengamanan penjara. Tenaga pengamanan terbatas, jumlah mereka 10.251 orang. Menurut Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, rasio petugas pengamanan dengan jumlah penghuni, 1 : 25, kondisi saat ini 1:52. Jadi jumlah yang dibutuhkan kurang 100 persen.
Singkat kata, Departemen Hukum dan HAM perlu sokongan uang buat menambal kebolongan itu semua. Inilah yang jadi masalahnya. Tahun lalu misalnya, total dana dibutuhkan Depkum dan HAM adalah Rp 9 triliun, tetapi yang dikabulkan Rp 5 triliun.
Tahun ini untuk membenahi lapas, Depkum dan HAM minta Rp 1 triliun. "Lapas sudah tidak manusiawi lagi," kata Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Sayangnya, keinginan Patrialis akan sulit tercapai. Sri Mulyani, Menteri Keuangan, meskipun mencanangkan dana itu, lebih meminta Patrialis bekerjasama dengan kepala daerah.
Itulah sebabnya, Depkum dan HAM menyurati seluruh kepala daerah agar membantu mengatasi masalah bui yang sesak ini. Patrialis meminta kepala daerah menyediakan lahan, dan seluruh biaya pembangunan. “Kalau tidak begitu, dananya dari mana," katanya.
Ini pun sebetulnya bukan masalah baru. Andy Mattalata, ketika menjabat Menteri Hukum dan HAM sebelum Patrialis, juga mengeluhkan soal sama. Masalahnya, laju pertumbuhan Lapas kalah cepat dibanding penghuninya. Pertambahan Lapas dua persen per tahun, sedangkan penghuni yang masuk dua kali lipatnya.
Akibatnya, pelayanan kurang optimal. "Hak-hak napi jadi tidak pasti," katanya. Contoh kecil sajalah, dalam satu penjara berkapasitas 500 orang dijejal berisi 2000 napi, maka ketika menerima tamu terjadi rebutan. "Akibatnya terjadi suap untuk dapat tempat. Pertama nolak suap (petugas), kedua nolak, ketiga minta," katanya kepada wartawan.
***
Apa yang dicontohkan Andy Mattalata memang sungguh terjadi.
Misalkan, di penjara Cipinang, Jakarta Timur. Ada cerita soal nasib si napi miskin kerepotan jika ada tamu yang menjenguknya. Sebab, dia harus merogoh kantong sampai Rp 250 ribu. Itu biaya untuk setiap pintu yang dilewatinya. Tentu dana ini tak masalah bagi narapidana kaya.
Tradisi kolusi napi berduit dan petugas juga sudah lama. Di Penjara Cipinang, dulu pernah heboh kaburnya Edy Tansil. Bos Golden Key Grup yang menilap uang negara Rp 1,4 triliuun, pada 1996 menempati sel yang sudah dibikin mewah. Dia sendiri di kamar itu, yang dindingnya dilapisi karpet, ada penyejuk udara, kulkas, televisi, dan tentu saja telepon genggam. Dia juga membayar tiga napi menjadi pembantunya. Tugasnya memasak, mencuci dan memijat si bos itu.
Sipir juga tak mewajibkannya ikut berbagai program pemasyarakatan. Bahkan tatkala Eddy izin main ke penjara, si sipir yang bertugas mengawasinya malah bak menjadi penjaga. Hasilnya, ya Eddy kabur pada 1996. Sampai hari ini, dia tak tentu rimbanya.
Lain lagi di penjara Salemba. Beberapa waktu lalu seorang wartawan menelusuri jual beli tempat berhubungan seks di sini. Rupanya, ini bisnis “basah”. Para napi yang berhasrat menuntaskan kebutuhan seksual mereka, bisa menyewa tempat lewat sipir.
Untuk urusan itu, beragam lokasi bisa dipakai. Tentu, asal si napi membayar. Mulai dari kakus, hingga ruang kerja bos mereka. Tarifnya berbeda-beda. Mulai Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu perjam. Bahkan, sewa juga berlaku bagi pasangan suami isteri.
Mental sipir seperti itu tentu menjadi salah satu masalah. Tapi, soal anggaran cekak juga problem lain. Mana lebih dulu harus dibenahi? Didi Syamsuddin, anggota komisi hukum DPR-RI, meminta Patrialis membenahi mental anak buahnya dulu. Setelah itu baru kebutuhan untuk lapas dipenuhi. “Jika tidak, walau dana dikucurkan tetap tak berubah,” katanya.
sorot.vivanews.com


0 komentar: on "Napi Kaya Penjara Miskin"
Posting Komentar